Tuesday 5 February 2013

Pengertian Bank Syariah


Falsafah dasar Perbankan Syariah mengacu kepada ajaran Agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, Alhadist dan Al-Ijtihad. Islam mengajarkan tentang ikhtiar Untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, untuk mencapai kebahagiaan lahir dan bathin. Hal ini berarti dalam mencapai kebahagiaan dunia harus dilakukan juga untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Diantaranya adalah dalam bidang muamalah yang tetap mengacu pada Prinsip-Prinsip ajaran agama sebagai jembatan menuju kebahagiaan akhirat. Seperti dalam Perbankan Islam yang harus berpegang pada dasar – dasar muamalat menurut Al Qur’an, Al hadist dan al ijtihad.

Muamalah adalah ketentuan syariat yang mengatur hal hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia, seperti : jual beli, perdagangan, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan lain sebagainya.

Syariat adalah hukum atau peraturan yang ditentukan Allah Swt untuk hambaNya sebagaimana yang terkandung dalam al Qur’an dan hadist.

Bank Syariah adalah Sistem Perbankan yang kegiatan usaha dan operasionalnya berdasarkan Syariah.

Perbankan Islam juga berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme operasional dan manajemen perbankan Islam sesuai dengan yang telah ditetapkan sebagaimana bank konvensional, kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam.

Kegiatan Usaha Bank Syariah antara lain diatur dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 07 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam Pasal 1 nomor (12) dan (13) UU 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dinyatakan bahwa

“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”

“Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk pembiayaan dana dan atau kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan Syariah, antara lain Pembiayaan berdasarkan Prinsip bagi hasil (mudarabah), Pembiayaan berdasarkan Prinsip penyertaan modal (musyarakah), Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan Prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) ”

Pelaksanaan kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana pada Bank Syariah di Indonesia tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang undangan mengenai perbankan di Indonesia, seperti Undang – undang Nomor 7 tahun 1992 dan Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998, disamping itu juga harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan Syariah yang merupakan landasan dalam pelaksanaan kegiatan Penghimpunan Dana pada Bank Syariah.

Kegiatan Penghimpunan dana antara lain dilakukan dalam bentuk : Giro atau Tabungan berdasarkan Prinsip Wadi‟ah; Tabungan berdasarkan prinsip Wadi‟ah dan atau Mudarabah; Deposito berjangka berdasarkan Prinsip Mudarabah.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan sehubungan dengan kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan oleh Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Syariah, antara lain;

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005, Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah,

Pasal (3) yang menjelaskan tentang syarat-syarat kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro atau tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah,

Pasal (4) yang menjelaskan tentang Syarat – syarat kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro berdasarkan PrinsipMudarabah, dan

Pasal (5) yang menjelaskan tentang syarat – syarat penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan Mudarabah.

Dalam al Qur’an dan hadist banyak dijelaskan tentang Prinsip wadiah dan mudharabah yang dijadikan sebagai landasan Syariah, seperti dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 58 yang menjelaskan tentang kewajiban menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya ( antara Muwaddi/Penitip dan Mustawda/ Penyimpan, masing-masing harus dapat menjalankan amanat sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama ); demikian juga dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya :” Hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanah “.

Hadist riwayat Abu Daud, At tirmidzi dan hakim menjelaskan …. ” Tunaikanlah amanat yang dipercayakan kepadamu
Sejarah Bank syariah


Sejarah awalnya bermula dari beroverasinya Mith Ghamr Local Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 dan ini merupakan tonggak sejarah perkembangan Sistem Perbankan Islam. Kemudian pada tahun 1967 pengoperasian Mith Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir disebabkan adanya kekacauan politik. Walaupun Mith Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua profesi bisnis, keberadaannya telah memberikan tanda positif bagi masyarakat muslim pada umumnya, dengan diperkenalkannya prinsip – prinsip Islam yang sangat Applicable dalam dunia bisnis Modern.

Perkembangan selanjutnya adalah berdirilah Islamic Development Bank (IDB), yang didirikan atas prakarsa dari hasil sidang menteri luar negeri Negara Negara OKI di Pakistan tahun 1970, Libya tahun 1973, dan Jeddah tahun 1975. Dalam sidang tersebut di usulkan penghapusan suatu sistem keuangan berdasarkan Bunga dan menggantinya dengan Sistem Bagi Hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara negara Islam untuk mendirikan suatu lembaga keuangan syari’ah. Hingga pada akhirnya tahun 1970-an dan awal tahun 1080-an bank bank syari’ah mulai bermunculan di Mesir, Sudan, Negara Negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.

Dari berbagai perkembangan laporan tentang bank Islam ini, ternyata bahwa operasional perbankan Islam hanya dikendalikan oleh tiga prinsip dasar yaitu ;

Penghapusan suatu Bunga dalam segala bentuk transaksi.

Melakukan segala aktivitas bisnis yang sah, berdasarkan hukum serta perdagangan komersial dan perusahaan industri.

Memberikan suatu pelayanan sosial yang tercermin dalam penggunaan dana dana zakat untuk kesejahteraan fakir miskin.

Dengan berkembangnya bank bank syari’ah di Berbagai Negara Negara Islam lainnya, memberikan dampak pengaruh yang positif bagi Bangsa Indonesia sendiri, Hal ini terbukti pada awal tahun 1980-an telah banyak diskusikan mengenai keberadaan bank syari’ah sebagai alternatif perbankan yang berbasis Islam dan sekaligus juga sebagai penopang kekuatan ekonomi Islam di Indonesia, akan tetapi untuk memprakarsai suatu System Perbankan Islam yang baru dimulai pada tahun 1990. Perbentukan Bank Syari’ah ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri, dengan lokakaryanya tentang Bunga Bank dan perbankan menghasilkan terbentuknya sebuah team perbankan yang bertugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi manfaat Bank Syari’ah, inilah yang memperkarsainya berdirinya PT. BMI (Bank Muamalat Indonesia) pada tahun 1991.

Pada awal berdirinya Bank Muamalat Indonesia keberadaan tentang Bank Syari’ah sendiri belum mendapatkan respon yang positif dan perhatian yang optimal dari masyarakat dalam tatanan industri perbankan nasional, disebabkan oleh landasan Hukum Operasional Bank yang menggunakan sistem Syari’ah yang berlandasan Syariat Islam, yang hanya dikategorikan sebagai Bank dengan Sistem Bagi Hasil dan tidak terdapat rincian landasan hukum syari’ah serta jenis jenis usaha yang diperbolehkan.

Pada masa perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa era reformasi Bank Syari’ah mendapat persetujuan dengan dibuatkannya Undang Undang No. 10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci tentang landasan hukum serta jenis jenis usaha yang dapat dioperasikan dan di implementasikan oleh Bank Syari’ah. Undang Undang tersebut juga memberikan arahan bagi Bank Konvensional untuk membuka cabang Syari’ah atau bahkan mengkonversikan diri secara total menjadi Bank Syari’ah.

Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia
Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim membuat negara ini menjadi pasar terbesar di dunia bagi perbankan syariah. Besarnya populasi muslim itu memberikan ruang yang cukup lebar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia.

Di Indonesia, bank syariah pertama baru lahir tahun 1991 dan beroperasi secara resmi tahun 1992. Padahal, pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak dasawarsa 1970-an. Menurut Dawam Raharjo, saat memberikan Kata Pengantar buku Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan penghalangnya adalah faktor politik, yaitu bahwa pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan Negara Islam (baca buku Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan karya Adiwarman Karim – IIIT Indonesia, 2003).

Namun, sejak 2000-an, setelah terbukti keunggulan bank syariah (bank Islam) dibandingkan bank konvensional – antara lain, Bank Muamalat tidak memerlukan suntikan dana, ketika bank-bank konvensional menjerit minta Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ratusan triliunan akibat negative spread – bank-bank syariah pun bermunculan di Indonesia.

Hingga akhir Desember 2006, di Indonesia terdapat tiga Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS).

Fungsi-fungsi bank sudah dipraktikkan oleh para sahabat di zaman Nabi SAW, yakni menerima simpanan uang, memberikan pembiayaan, dan jasa transfer uang. Namun, biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu.

Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, namun usaha tersebut tidak berhasil. Berikutnya, eksperimen dilakukan di Pakistan pada akhir 1950-an.

Namun, eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Kesuksesan Mit Ghamr memberi inspirasi bagi umat Muslim di seluruh dunia, sehingga muncul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasi dalam bisnis modern.

Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya Islamic Development Bank (IDB, atau Bank Pembangunan Islam) pada tahun 1975, yang berpusat di Jeddah. Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank, ADB) ini dibentuk oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk Indonesia.

Pada era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam sudah menyebar ke banyak negara. Misalnya, Dubai Islamic Bank (1975) dan Kuwait Finance House (1977) di Timur Tengah. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran, dan Sudan, bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di negara tersebut menjadi nur-bung, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga.

Kini perbankan syariah sudah menyebar ke berbagai negara, bahkan negara-negara Barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, tepatnya Denmark, tahun 1983.

Di Asia Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal dasawarsa 1980-an, dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983.

prinsip prinsip bank syariah
Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah ( hukum ) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan-larangan investasi yang dikategorekan haram ( misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll. ) dimana hal ini dapat dijamin oleh sistem bank konvensional.

prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan usaha atau kegiatan lainya yang sesuai dengan syariah.

beberapa prinship hukum yang dianut oleh bank syariah antara lain :
pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak mempunyai nilai intrinsik.

Unsur Gharar ( ketidakastian, spekulasi ) tidak diperkenankan. keduabelah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

Investasi hanya boleh pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

sedangkan untuk prinsip ekonomi, terdapat tujuh prinsip ekonomi yang menjiwaii bank syariah yaitu:

keadilan, kesamaan dan solidaritas
larangan terhadap objek dan mahluk
pengakuan kekayaan intelektual
harta sebaiknya digunakan secara rasional dan baik ( fair way )
tidak ada pendapatan tana usaha dan kewajiban.

kondisi umum dari kredit ( meliputi: pertama peminjam yang mengalami kesulitan keuangan sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu, bahkan akan lebih baik bila diberi keringanan, dan kedua, terdapat beberapa perbdaan mengenai hukum selisih antara kredit dan harga spot, ada yang berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implisit dan ada yang berpendapat suku bunga tersebut diperbolehkn untuk mengakomodasi biaya transaksi, bukan biaya dari pembiayaan,dan (7) dualiti resiko di satu isi sebagai persetujuan kredit ( liability ) usaha produktif yang merupakan legitimasi dari bagi hasil, dilain sisi resiko sebaiknya diambil secara hati-hati, resiko yang tak terkontrol sebaiknya dihindari.

Kesimpulan

Jadi bank syariah adalah bank yang mengikuti syariat islam dalam melakukan kegiatan perbankannya. Dan juga bank syariah telah diatur oleh undang undang yang menyatakan bank syariah itu sah secara hukum.



Source :
- Id.wikipedia.org
- http://duniabaca.com/sejarah-prinsip-serta-produk-perbankan-syariah.html
- http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dan-perkembangan-bank-syariah/
- http://aminpurwanto.blogspot.com/2010/06/prinsip-prinsip-bank-syariah.html


MENGELOLA PEMBIAYAAN DI BANK SYARIAH

PENDAHULUAN
  
            Perkembangan perbankan syariah merupakan salah satu praktik ekonomi syariah yang kini sedang tumbuh pesat ditanah air. Perkembangan ini pada dasarnya mereprentasikan kesadaran umat pada nilai luhur yang ada dalam islam sebagai agama bagi mayoritas penduduk dinegri ini.semangat kembali pada nilai-nilai islam ditunjukan oleh semua kebutuhan pada semua sisi aktivitas hidup masyarakat muslim Indonesia, dengan populasi mayoritas muslim terbesar, Indonesia memiliki potensin pasar terbesar dalam pengembangan industri keuangan dan perbankan syariah.

Dalam pengembangan keuangan dan perbankkan syariah kita memiliki perbedaan dengan keuangan dan perbankan konvensional.
Seperti dalam konsep produk pembiaayaan, pengelolaan pembiayaan, kebijakan-kebijakan dalam pembiayaan dll.
Produk dalam perbankan syariah yang sering digunakan untuk bertransaksi adalah:
Mudharabah, murobahah, musyarakah, ijarah dan istishna’. Dan model pembiayaan yang sering dipakai adalah pembiayaan dengan konsep bagi hasil.
seperti yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu pengelolaan pembiayaan dibank syariah, akan membahas lebih rinci tentang pembiayaan dibank syariah.



MENGELOLA PEMBIAYAAN DI BANK SYARI’AH

  1. Konsep Produk Pembiayaan
  1. MUDHARABAH
Mudharabah, berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Atau lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharobah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
  1. Pada setiap permohonan pembiayaan mudharabah baru, bank secara ketentuan internal diwajibkan untuk menerangkan esensi dari pembiayaan mudharabah serta kondisi penerapannya. Hal yang wajib dijelaskan antara lain meliputi: esensi pembiayaan mudharabah sebagai bentuk investasi bank kenasabah, definisi dan terminologi, profit sharing atau revenue sharing, keikut sertaan dalam skema penjaminan, terms and condition, dan tatacara perhitungan bagi hasil.
  2. Bank wajib meminta nasabah untuk mengajukan permohonan pembiayaan mudharabah secara tertulis,
  3. Dalam memperoses permohonan pembiayaan mudharabah dimaksud, bank wajib melakukan analisis .
  4. Bank menyampaikan tanggapan atas permohonan dimaksud sebagai tanda adanya tahapan penawaran dan penerimaan.
  5. Pada waktu penandatanganan akad antara nasabah dan bank, kontrak akad tersebut wajib menginformasikan.
  6. Bank wajib menyetorkan nilai investasi yang sebesar disepakati
  7. Bank wajib melakukan pengawasan atas pengelolaan usaha nasabah
  8. Bank wajib meminta pengelola untuk melaporkan angka basis bagi hasil berdasarkan laporan keuangan yang tervalidasi dengan baik.
  9. Bank wajib memiliki standar prosedur untuk menetapkan tindakan yang diambil dalam rangka rescheduling kewajiban yang belum terselesaikan, dalam hal pembiayaan yang bersifat revenue sharing.

A. Aplikasi mudharobah dalam konteks pembiayaan:
1)      Pembiayaan modal kerja : modal bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, perdagangan, dan jasa.
2)      Pembiayaan investasi : untuk pengadaan barang-barang modal, aktiva tetap, dan sebagainya.
3)      Pembiayaaninvestasi khusus : bank bertindak dan memosisikan diri sebagai arranger yang mempertemukan kepentingan pemilik dana, seperti yayasan dan lembaga keuangan non bank, dengan pengusaha yang memerlukan.

B.                 Pembiayaan Mudharobah
Penempatan dana dapat dilakukan dalam bentuk pembiayaan berakad jual beli maupun syirkah atau kerjasama bagi hasil. Dalam pembiayaan mudharabah (bagi hasil), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak, yaitu:
1)      Nisbah bagi hasil yang disepakati
2)      Tingkat keuntungan bisnis aktual yang didapat
oleh karena itu bank sebagai pihak yang memiliki dana akan melakukan perhitungan nisbah yang akan dijadikan kesepakatan pembagian pendapatan.
C. Permasalah-Permasalah Dalam Pembiayaan Mudharabah
Berdasarkan teori kontemporer, prinsip mudharabah dijadikan sebagai alternatife penerapan sistem bagi hasil. Menurut pengamatan saeed (2003), masalah-masalah pembiayaan mudharabah terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:
  1. Standar moral, terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkembang dikebanyakan komunitas muslim tidak memberi kebebasan penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi. Hal ini mendorong bank untuk mengadakan pemantauan lebih insentif terhadap setiap investasi yang diberikan. Kerena itu bank hanya akan memberikan dana kepada rekan yang efesien dalam mengelola bisnis, jujur, serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek.
  2. Ketidak efektifan model pembiayaan bagi hasil, meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran belanjanya, dengan demikian permintaan pemakaian pembiayaan dengan sistem bagi hasil menjadi tidak terpenuhi.
  3. Berkaitan dengan para pengusaha, lembaga keuangan memerlukan informasi yang lebih perinci tentang aktifitas bisnis yang telah dibiayai dan besar kemungkinan lembaga keuangan turut memengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis mitranya. Sehingga keikut campuran lembaga keuangan akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih menuntut kebebasan.

D. praktik pembiayaan mudharabah
Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah, dimana bank bertindak selaku shahibul maal dan nasabah selaku mudharib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkuraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal Rp.30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp.5000.000,00 per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp.2000.000,00. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan dimuka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.
Jadi sebelum kita melakukan pembiayaan mudharabah, kita harus tau dahulu apa itu mudharabah dan kita juga harus tau syarat-syarat dan ketentuan dalam pembiayaan mudharabah. Untuk lembaga keuangan yang menyediakan produk mudharabah, lembaga itu harus tau bagaimana cara mengatasi masalah-masalah dalam pembiayaan mudharabah dan menghindari masalah tersebut.

  1.  MUSYARAKAH
Musyarakah merupakan akad kerja sama pembiayaan antara Islamic banking, atau beberapa lembaga keuangan secara bersama-sama, dan nasabah untuk mengelola suatu kegiatan usaha. Masing-masing melakukan penyertaan dana sesuai porsi yang disepakati. Pengelolaan kegiatan usaha dipercayakan kepada nasabah. Dan selaku pengelola nasabah wajib menyampaikan laporan berkala mengenai perkembangan usaha kepada bank –bank sebagai pemilik dana. Disamping itu, pemilik dana dapat melakukan intervensi kebijakan usaha.

A. Aplikasi
ü  pembiayaan dalam modal kerja : dapat dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi, induistri, perdagangan dan jasa.
ü  Pembiayaan investasi : dapat dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang industri.
ü  Pembiayaan secara sindikasi: baik untuk kepentingan modal kerja maupun investasi.


B.Pembiayaan musyarakah
1)      Pada setiap permohonan pembiayaan musyarakah baru, bank berkententuan internal diwajibkan untuk menerangkan esensi dari pembiayaan musyarakah serta kondisi penerapannya.
2)      Bank wajib meminta nasabah untuk mengisi formulir permohonan pembiayaan musyarakah.
3)      Dalam memproses permohonan pembiayaan musyarakah, bank wajib melakukan analisis.
4)      Bank menyampaikan tanggapan atas permohonan dimaksud sebagai tanda adanya tahapan penawaran dan penerimaan.
5)      Pada waktu penandatanganan akad antara para nasabah dan bank, kontrak akad tersebut wajib diinformasikan.
6)      Bank dan para pihak wajib menyetorkan  dana sebesar nominal yang ditulis dalam formulir permohonan, sebagai bukti investasi tunai bukan utang serta menegaskan jumlah investasi yang sesuai dengan proporsi yang disepakati.
7)      Bank wajib melakukan pengawasan atas pengelolaan usaha
8)      Bank wajib meminta pengelola untuk melaporkan angka basis bagi hasil berdasarkan laporan keuangan yang tervalidasi dengan baik.
9)      Bank wajib memiliki standar prosedur untuk menetapkan tindakan yang diambil dalam rangka rescheduling kewajiban yang belum terselesaikan.

C. Praktik pembiayaan musyarakah
Ilustrasi:
Pak usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Usaha tersebut membutuhkan modal sejumlah Rp.100.000.000,00. ternyata, setelah dihitung, pak usman hanya memiliki Rp.50.000.000,00. atau 50% dari modal yang diperlukan. Pak usman kemudian datang kesebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan skema musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp.100.000.000,00. dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp.20.000.000,00 dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati adalah 50;50 (50% untuk nasabah dan 50% untuk bank), pada akhir proyek pak usman harus mengembalikan dana sebesar Rp.50.000.000,00. (dana pinjaman dari bank) ditambah Rp.10.000.000,00 (50% dari keuntungan untuk bank).
Pembiayaan musyarakah hampir sama dengan pembiayaan mudharabah tetapi hanya dalam pembiayaan mudharabah pihak lembaga menyediakan 100% modal sedangkan dalam pembiayaan musyarakah modal dibagi rata sesuai dengan kesepakatan awal. Dan dalam pembiayaan musyarakah keuntungan, kerugian dibagi sesuai dengan kesepakatan awal.

  1. MURABAHAH
Murabahah adalah akad jual beli antara lembaga keuangan dan nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang disepakati bersama. Lembaga keuangan akan mengadakan barang yang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah dengan harga setelah ditambah keuntungan yang disepakati.
Guna memastikan keseriusannya untuk membeli bank dapat mensyaratkan nasabah agar terlebih dahulu membayar uang muka.

A.          Pembiayaan murabahah
1)     Pada setiap permohonan murabahah baru, bank diwajibkan untuk menerangkan esensi dari pembiayaan murabahah serta kondisi penerapannya.
2)     Bank wajib meminta nasabah untuk mengisi formulir permohonan pembiayaan murabahah.
3)     Dalam memproses permohonan pembiayaan murabahah bank wajib melakukan analisis.
4)     Bank menyampaikan tanggapan atas permohonan dimaksud sebagai tanda adanya kesepakatan  pra akad
5)     Bank meminta uang muka pembelian kepada nasabah sebagai tanda persetujuan kedua pihak untuk melakukan murabahah
6)     Bank harus melakukan pembelian barang kepada supplier terlebih dahulu sebelum akad jual beli dengan nasabah dilakukan
7)     Bank melakukan pembayaran langsung kepada rekening supplier
8)     Pada waktu penandatanganan akad murabahah antara nasabah dan bank, pada kontrak akad tersebut wajib diinformasikan
9)     Bank menyerahkan atau mengirimkan barang kenasabah
10) Bank wajib memiliki standar prosedur untuk menetapkan tindakan yang diambil jika ada kewajiban yang belum terselesaikan.

B.     Resiko Dalam Pembiayaan Murobahah
  1. resiko yang terkait dengan barang, Islamic banking membeli barang-barang yang diminta oleh nasabah murabahahnya, dan secara teoretis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Bank dengan kontrak murabahah diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik.
  2. Resiko yang terkait dengan nasabah, resiko bank terhadap kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran uang muka, dengan jaminan-jaminan pihak ke tiga, dan dengan klausa kontrak.
  3. Resiko-resiko yang terkait dengan pembayaran,  Islamic banking menghindari resiko ini dengan adanya janji tertulis, jaminan, jaminan pihak ke tiga, dan klausul kontrak yang menyatakan bahwa semua hasil dari barang-barang murobahah yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun cicilan harus disimpan dibank sampai apa yang menjadi hak bank dibayar kembali sepenuhnya.

C.           Praktik Pembiayaan Murabahah
               Misalnya seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Ia dapat datang ke bank syariah dan memohon agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah. Jika harga motor tersebut 4 juta rupiah dan bank ingin mendapat keuntungan Rp.800.000,00. selama 2 tahun, harga yang ditetapkan kepada nasabah seharga Rp.4.800.00,00. nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp.200.000,00 per bulan.
               Pembiayaan murobahah hampir sama dengan jual beli kredit, bedanya terletak pada akadnya. Pembiayaan murobahah dilakukan dengan 2 transaksi yaitu antara pihak 1 yang punya barang yang akan dijual dengan pihak 3 yaitu bank yang menjadi perantara untuk membeli barang tersebut, lalu pihak ke 2 yaitu nasabah yang menginginkan barang tersebut. Setelah bank membeli barang dari pihak 1 lalu bank menjual kembali kepihak ke 2 dengan harga penambahan sesuai kesepakatan dan dibayar cicilan sesuai dengan kesepakatan awal.
                                                             
  1. IJARAH
Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut fatwa dewan syariah  nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang  atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri .

A.                Aplikasi dalam perbankan
Bank islam lebih banyak menggunakan al ijarah al muntahia bit tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset.

B.                 Pembiayaan ijarah
Bank Syariah
1)      Bukan investasi-investasi yang Hlal saja;
2)      dasarkan prinsip bagi hasil, jual beli  atau sewa;
3)       Profit dan falah oriented;
4)      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
5)      Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma Dewan Pengawas Syariah.
SKEMA PEMBIAYAAN IJARAH MUNTAHIAH BITTAMLIIK
a.       Nasabah memesan untuk menyewa barang kepada Bank.
b.      Bank membeli dan membayar barang kepada Supplier.
c.       Supplier mengirim barang kepada Nasabah.
d.      Nasabah membayar sewa kepada Bank.
e.       Masa sewa diakhiri dengan nasabah membeli barang tersebut.
C.Resiko dalam pembiayaan
1)      Nasabah tidak membayar cicilan
2)      Asset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya tambahan pemeliharaan, terutama jika disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
3)      Nasabah berhenti ditengah kontrak.

D.Praktik pembiayaan ijarah
Sebagai contoh, seorang nasabah yang sedang melakukan proyek pembangunan jalan raya, memerlukan alat-alat berat sebagai penunjang oprasinya. Karena keberadaan alat tersebut hanya dibutuhkan pada saat dia sedang melaksanakan royek, dia memutuskan untuk tidak membeli peralatan itu, melainkan menyewanya. Akan tetapi, jika ternyata alat-alat tersebut akan terus dibutuhkan dan dia memutuskan untuk membelinya, dia bisa melakukannya dengan ijarah muntahia bitamlik, yaitu menyewa peralatan tersebut dan pada akhir masa sewa, dia membelinya.
Pembiayaan ijarah, dalam lembaga keuangan yang biasa dipakai adalah pembiayaan ijarah nutahia bittamlik (IMBT). IMBT adalah akad sewa-menyewa antara sipenyewa (nasabah) dengan yang menyewakan (Bank) untuk diambil manfaatnya dari barang tersebut, tetapi diakhir penyewaan barang tersebut menjadi milik sipenyewa/ sewa-menyewa dengan akhir pemindahan hak milik barang.

  1. ISTISHNA’
Transaksi bai’al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran.


    1. istishna’ paralel dalam perbankan
ada beberaa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel:
1)      Bank islam sebagai pembuat dalam pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya.
2)      Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai pemesan.
3)      Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontrak dan jaminan yang timbul darinya.

    1. praktik pembiayaan istishna’
seorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’al-istishna’ dalam akad bai’al-istishna’, bank berlaku sebagai penjual yang menawarkan pembangunan atau renovasi rumah. Bank lalu membeli atau memberikan dana, misalnya Rp.30.000.000,00 secara bertahap. Setelah rumah itu jadi, secara hukum islam rumah atau hasil renovasi rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai saat ini akad istishna’ sebenarnya sudah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang sudah disepakati, misalnya Rp.39.000.000,00 dengan jangka waktu 3 tahun. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp.9000.000,00.
Pembiayaan istishna’ yaitu pembiayaan dengan sistem jual-beli pesanan. Jadi dalam pembiayaan ini nasabah meminta bank untuk mencarikan sebuah barang yang diinginkan nasabah, dan bank memesan barang tersebut kepada pihak ke 3 yang bisa memberikan barang tersebut, lalu bank menjual kembali kepada nasabah yang memesan sebelumnya, dengan pembayaran dan waktu pembayaran ditentukan sesuai dengan kesepakatan awal.


KESIMPULAN

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut konsep pembiayaan di bank syariah, konsep produk pembiayaan bank syariah ada 5 yaitu:
1)      Mudharabah    : akad kerjasama antara bank dengan nasabah dimana bank yediakan modal 100% atau modal semua dari pihak bank dan nasabah menjadi pengelola usaha, dan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
2)      Musyarakah     : akad kerjasama antara bank dengan nasabah dimana penyetoran modal ditanggung sesuai esepakatan awal.
3)      Murabahah      : Murabahah adalah akad jual beli antara lembaga keuangan dan nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang disepakati bersama
4)      Ijarah               : sewa menyewa atas barang atau jasa antara pemilik objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan berupa sewa atau upah bagi pemilik objek sewa.
5)      Isistisnha         : jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan tertentu, kriteria dan pola pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

bentuk utama bank syariah adalah menggunakan pola bagi hasil, sesuai dengan karakteristiknya. Selain itu pula bank syariah juga mempunyai produk pendaan secara non bagi hasil, dan ada juga menggunakan pola jual beli seperti istisnha. Serta pola sewa menyewa. Sesuia dengan uraian diatas makalah ini.

Source : 
-Antonio syafii, muhammad. Bank syariah dari teori kepraktik. Cet.1 Jakarta : gema insani,2001 
-Ascarya. Akad dan produk bank syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011. Antonio, 
  syafii. Bank syariah. Jakarta: Gema Insani, 2001. 
-Rivai, veithzal. Andri permata veithzal. Islamic Financial Management. Jakarta: PT Raja 
  Grafindo persada, 2008.